Mau Tahu Akhlak Sebenarnya seseorang?
Tanyalah Istrinya Atau ajaklah bersafar (bepergian)
Hal ini sesuai dengan bimbingan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”[2]
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.”[3]
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan hadits,
في ذلك تنبيه على أعلى الناس رتبة في الخير وأحقهم بالاتصاف به هو من كان خير الناس لأهله، فإن الأهل هم الأحقاء بالبشر وحسن الخلق والإحسان وجلب النفع ودفع الضر، فإذا كان الرجل كذلك فهو خير الناس وإن كان على العكس من ذلك فهو في الجانب الآخر من الشر، وكثيرا ما يقع الناس في هذه الورطة، فترى الرجل إذا لقي أهله كان أسوأ الناس أخلاقا وأشجعهم نفسا وأقلهم خيرا، وإذا لقي غير الأهل من الأجانب لانت عريكته وانبسطت أخلاقه وجادت نفسه وكثر خيره، ولا شك أن من كان كذلك فهو محروم التوفيق زائغ عن سواء الطريق، نسأل الله السلامة
“Pada hadits ini terdapat peringatan bahwa orang yang pailng tinggi kebaikannya tertinggi dan yang paling berhak untuk disifati dengan kebaikan adalah orang yang terbaik bagi istrinya.
Karena istri adalah orang yang berhak untuk mendapatkan perlakuan mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, pemberian manfaat dan penolakan mudharat.
Jika seorang lelaki bersikap demikian maka dia adalah orang yang terbaik, namun jika keadaannya adalah sebaliknya maka dia telah berada di sisi yang lain yaitu sisi keburukan.
Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau melihat seorang pria jika bertemu dengan istrinya maka ia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu dengan orang lain, maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi barangsiapa yang demikian kondisinya maka ia telah terhalang dari taufik (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”[4]
Ajaklah ia bersafar/berpergian atau tanyalah kepada teman yang pernah bersafar denganya. Ini juga salah satu cara agar mengetahui hakikat akhlak seseorang.
Syaikh Muhammad bin shalih Al-Ustaimin berkata,
وسمي سفرا لأنه من الإسفار وهو الخروج والظهور كما يقال أسفر الصبح إذا ظهر وبان وقيل في المعنى سمي السفر سفرا لأنه يسفر عن أخلاق الرجال يعني يبين ويوضح أحوالهم فكم من إنسان لا تعرفه ولا تعرف سيرته إلا إذا سافرت معه وعندئذ تعرف أخلاقه وسيرته وإيثاره
“Diistilahkan safran [سَفْرًا l] karena diambil dari makna al-isfar [الْإِسْفَارُ ] yaitu: keluar dan terang, nyata. sebagaimana dikatakandalam ungkapan [أَسْفَرَ الصُّبْحُ] yaitu bersinar atau bercahaya. Secara makna disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang.” Maksudnya, menjadikan jelas dan nyata keadaannya. Berapa banyak orang yang belum terkuak jati dirinya, bisa terungkap setelah melakukan safar/bepergian bersamanya. Ketika dalam safar itulah engkau mengetahui akhlak, perangai dan wataknya.”[5]
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
وإنما سمى السفر سفراً، أنه يسفر عن الأخلاق . وفى الجملة فالنفس فى الوطن لا تظهر خبائث أخلاقهم لاستئناسها بما يوافق طبعها من المألوفات المعهودة، فإذا حملت وعثاء السفر، وصرفت عن مألوفاتها المعتادة، ولامتحنت بمشاق الغربة، انكشفت غوائلها، ووقع الوقوف على عيوبها
“Disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang. Pada umumnya, seseorang yang tinggal di daerah asalnya tidak menampakkan kejelekan akhlaknya karena ia terbiasa dengan apa yang sesuai dengan tabiatnya yang biasa ia hadapi. Jika ia melakukan safar, maka tidak tidak biasa lagi dengan keadaan dan kebiasaannya. Ia akan diuji dengan kesusahan safar yang berat dan tersingkaplah kejelekan dan diketahui aib-aibnya.”[6]
Dalam suatu riwayat mengenai Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu,
كان عمر رضي الله عنه إذا زكى رجل شخصا عنده قال له هل سافرت معه هل عاملته إن قال نعم قبل ذلك وإن قال لا فقال لا علم لك به
“Umar bin Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu ada seseorang yang merekomendasikan temannya, beliau bertanya, “Apakah engkau pernah melakukan safar bersamanya? Apakah engkau telah bergaul dengannya?” jika jawabannya “Ya.” maka Umar pun menerimanya. Jika jawabannya “Belum pernah”, maka Umar akan mengatakan, “Engkau belum mengetahui hakikat senyatanya tentang orang itu.”[7]
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
ومن كان في السفر آذى هو مظنة الضجر حِسنَ الخلق، كان في الحضر أحسن خلقاً .وقد قيل : إذا أثنى على الرجل معاملوه بى الحضر ورفقاؤه في السفر فلا تشكوا في صلاحه .
“Barangsiapa yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan keletihan ia tetap berakhlak yang baik, maka ketika tidak bersafar ia akan beraklak lebh baik lagi. Sehingga dikatakan, jika seseorang dipuji muamalahnya ketika tidak bersafar dan dipuji muamalahnya oleh para teman safarnya,maka janganlah engkau meragukan kebaikannya.”[9]
Diriwayatkan Aisyah r.a yang menceritakan bahwa kebiasaan Rasulullah saw jika menemukan ada pakaian yang robek, maka beliau terbiasa menambalnya sendiri tanpa perlu menyuruh siapapun termasuk istrinya. Selain itu, Rasulullah saw juga biasa memerah susu kambing untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual.
Dari Aisyah r.a. meriwayatkan “Kalau Nabi saw berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumah tangga. Jika mendengar azan, beliau cepat-cepat berangkat ke mesjid, dan cepat-cepat pula kembali sesudah selesai melakukan sholat.”
Kebiasaan Rasulullah saw setiap kali pulang ke rumah, jika dilihatnya tiada makanan yang sudah siap dihidangkan untuk dimakan, beliau akan menyinsingkan lengan bajunya untuk membantu istrinya di dapur.
Suatu ketika, pernah Rasulullah saw pulang pada dini hari. Kala itu, tentulah beliau sangat lapar. Namun dilihatnya tiada sesuatu apapun yang ada untuk sarapan. Maka, Rasulullah saw bertanya, “Duhai Humaira, belum adakah sarapan?”
Aisyah r.a. menjawab, “Belum ada apa-apa wahai Rasulullah.”
Terlihat tiada rasa menyesal di wajahnya, Rasulullah saw pun berkata, “Jika begitu aku puasa saja hari ini.”
Namun sebaliknya, Rasulullah saw sangat marah tatkala melihat atau mendengar seorang suami yang melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya. Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan lemah lembut terhadap istrinya.”
Diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, Ketika Rasulullah saw datang berziarah di Mekkah, berkata Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah saya boleh mewasiatkan seluruh hartaku?
Rasulullah saw menjawab, “jangan.”
Sa’ad bin Abi Waqqash bertanya lagi, “Setengahnya?”
Rasulullah saw pun menjawab, “Jangan.”
Sa’ad bin Abi Waqqash bertanya lagi, “Sepertiga?”
Maka Rasulullah saw berkata, “Sepertiga itu banyak, sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka dalan keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang-orang, dan sesungguhnya apapun yang engkau nafkahkan adalah termasuk sedekah, walaupun itu hanya sesuap nasi yang engkau suapkan ke mulut isterimu, semoga Allah mengangkat derajatmu, lalu setiap orang akan mengambil manfaat dari kamu.”
Oleh karena itu di antara sikap kasih sayang terhadap istri adalah memberi mereka makan.
Apa yang membebani kaum pria melakukan hal tersebut?
Tidak ada, kecuali mengikuti suri tauladan yang baik, mengharapkan pahala, dan bergaul secara baik yang disertai kasih sayang dan kelembutan.